Pemerintah Tegaskan Kondisi Makroekonomi Indonesia Sehat

27 Oktober 2018  |  14:22 WIB
Ekonom Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono (kiri) dan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono (kanan) bersalaman usai acara Rembuk Nasional Gerakan Indonesia Mandiri bertajuk Kemandirian Ekonomi untuk Indonesia Maju di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (27/10)./Bisnis-Deandra Syarizka

Bisnis.com, MANADO -- Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menegaskan kondisi makro ekonomi Indonesia dalam kondisi sehat dan tetap dapat tumbuh di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menjelaskan kendati belum mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), tapi sebagian besar indikator ekonomi nasional mengalami perbaikan.

Dia melanjutkan yang diperlukan adalah meneruskan secara konsisten transformasi ekonomi dengan mendorong supply side yang mencakup infrastruktur, logistik, industri, teknologi dan Sumber Daya Manusia (SDM), sambil menjaga sisi demand side berupa kondisi moneter serta fiskal untuk menjaga konsumsi.

"Sebagian besar indikator ekonomi Indonesia berada dalam kondisi sehat. Memang betul belum mencapai target RPJMN, tetapi kalau kita lihat pertumbuhan ekonomi mengalami tren kenaikan sejak 2015 sampai 2018," ujar Susiwijono dalam acara Rembuk Nasional Gerakan Indonesia Mandiri bertajuk “Kemandirian Ekonomi untuk Indonesia Maju”, di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (27/10/2018).

Rembuk nasional tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara Pekan Kerja Nyata (PKN) Revolusi Mental yang berlangsung sejak Jumat (26/10) hingga Minggu (28/10).

Dia menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga semester I/2018 mencapai 5,17%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada 2015 yang sebesar 4,88%, pada 2016 sebesar 5,02%, dan pada 2017 sebesar 5,07%.

Meskipun masih jauh dari target pertumbuhan ekonomi tahun ini yang ditetapkan sebesar 5,4%, tapi pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai masih lebih baik bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya.

"Dibandingkan negara-negara G20 kita cukup baik. Hanya kalah sedikit dibandingkan India, China, dan Turki. Sementara itu, negara lain seperti Korea Selatan dan Jepang di bawah 3% [pertumbuhan ekonominya]," tutur Susiwijono.

Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menyatakan indikator perekonomian yang paling dipantau oleh masyarakat adalah nikai tukar rupiah. Terlebih, kondisi nilai tukar rupiah saat ini yang telah terdepresiasi ke level Rp15.217 per dolar AS kerap dikait-kaitkan dengan kondisi rupiah pada krisis 1998 sehingga menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat.

"Orang awam membandingkan tidak apple to apple. Begitulah kalau orang tidak mengerti ekonomi tapi punya panggung di televisi," ucapnya.

Padahal, sambung Tony, kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat krisis 1998 dengan sekarang sangat berbeda. Meskipun sama-sama menyentuh level Rp15.000 per dolar AS, tapi nilai rupiah pada 1998 dengan 2018 tetap berbeda.

Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, rupiah telah terdampak inflasi dengan asumsi rata-rata sebesar 5% per tahun. Dengan demikian, total inflasi yang terjadi selama 20 tahun mencapai 100%.

"Jadi, dengan inflasi 100% maka Rp15.000 pada 1998 kalau dibuat present value-nya tahun ini maka Rp30.000 per dolar AS kurs rupiah," jelasnya.

Meski demikian, Tony memandang target pertumbuhan ekonomi dalam RPJMN sebesar 8% pada 2019 sulit tercapai. Terlebih, bila mengingat kondisi ekonomi global saat ini yang tidak menentu dan tengah berada dalam fase taper tantrum akibat penguatan ekonomi AS.

"Dana seluruh dunia terbang ke AS. Dia menjadi magnet yang menyerap likuiditas seluruh dunia sehingga likuiditas di berbagai perekonomian negara lain mengering. Salah satu yang terkena pasti Indonesia," tambahnya.

  Artikel Terkait